Dalam termenologi fikih, tentu kita mengenal istilah hukum mulai dari hukum mubah, sunnah, wajib, makruh, syubhat dan haram. Tapi ketentuan hukum itu tidak lain untuk menentukan status perbuatan seseorang mulai dari yang akan maupun yang sudah dilakukan, yang karenanya kemudian akan melahirkan konsekuensi berupa pahala atau dosa.
Contoh, kalau kamu berniat ngamplengi rai mertuamu, sebatas niat tok itu tak ada masalah hukumnya meski itu tetap tak patut. Tapi seumpama niatmu diwujudkan, barulah hukum haram menyertai.
Lalu bisakah istilah-istilah hukum fikih yang enam itu dipakai untuk menghukumi tentang bagaimana seharusnya seseorang itu hadir di tengah-tengah orang lain? Jawabnya adalah bisa. Sehingga ada istilah manusia mubah, manusia sunnah, manusia wajib, makruh, syubhat dan haram. Namun catat ya, istilah ini hanyalah istilah dalam ranah sosial kebudayaan saja.
Ora mudeng yo...!!??
Gampangnya begini. Kalau ada orang yang sikap dan sopan santunnya top, kepedulian sosialnya tinggi, ora seneng ngapusi, rajin, nek kerjo kerjone tenanan, nggak senang tipu-tipu, salatnya sergep, karo wong liane apian, maka jenis manusia seperti ini masuk kategori manusia wajib. Orang seperti ini, kehadirannya di tengah-tengah manusia lainnya wajib ada, wajib disambut.
Tapi kalau orang tersebut kebalikannya dari kategori di atas, barulah dirinci atau di-tafshil lagi kalau dalam istilah usul fikih, apakah nanti dia masuk kategori manusia mubah, sunnah, makruh, syubhat atau haram.
Siapa yang berhak merinci? Ya, kamu-kamu sendiri saja lah. Aku dewe mbuh mlebu sing ndi. Ndasku wes mumet mikir gimana caranya beli minyak goreng tanpa harus setor NIK, kayak mau daftar bikin SIM saja. Wes mbulet...mbulet