Rabu, 20 Oktober 2021

SELAYANG PANDANG TENTANG MAULID NABI DAN AL-BARZANJI

Oleh: Salman Rusydie Anwar*
 

Setiap memasuki bulan Rabi’ul Awal, sebagian besar umat Islam di seluruh dunia memperingati satu peristiwa besar dalam sejarah peradaban umat manusia, yaitu memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Di kalangan sejarawan, terdapat perbedaan pendapat tentang tanggal lahirnya Rasulullah Saw. Munawar Khalil menyebutkan bahwa beliau lahir pada 9 Rabiul Awal (Munawar Khalil, Tarikh Muhammad, 2001: 68).

Di kalangan ulama tarikh (sejarawan) klasik, ditemukan pendapat yang berbeda-beda mengenai waktu lahirnya Rasulullah Saw. Al-Hafidz Ibnu Rajab mengutip catatan sejarawan Muslim awal, Imam Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa Rasulullah Saw lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal, (Al-Hafidz Ibnu Rajab, Latháifu al-Ma’árifi fí má Lilmawásimi al-‘Ám min Wadzáif, 1999 : 110).

Sementara Imam Abdil Bar berpendapat bahwa Rasulullah Saw lahir pada tanggal 2 Rabiul Awal, dan menurt Ibnu Hazm sebagaimana dikutip Imam Al-Humaidi, beliau Saw lahir pada tanggal 8 Rabiul Awal (Ibnu Abdil Bar, Al-Istí’áb fí Ma’rifati al-Asháb, 1992 : 199). Ibnu Dihyah seperti dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidáyatu wa al-Niháyah juga menyebutkan bahwa Nabi Saw lahir pada tanggal 10 Rabiul Awal.

Dari uraian di atas, tampaknya ulama ahli sejarah berbeda pendapat, khususnya mengenai tanggal berapa Rasulullah Saw lahir. Akan tetapi mayoritas mereka sepakat bahwa Rasulullah Saw lahir pada bulan Rabiul Awal, tepatnya pada hari Senin sebagaimana sabda Rasulullah Saw sendiri; “Hari Senin adalah hari lahirku, hari di mana aku diutus dan hari diturunkannya wahyu,” (HR. Muslim). Dengan demikian, perbedaan pendapat tersebut hanya menyangkut tanggal lahir Nabi sementara mayoritas sepakat akan bulan dan hari lahirnya Nabi Saw.

Hari lahirnya Rasulullah Saw tidak hanya membawa berkah bagi peradaban umat manusia yang semula berada di dalam kubangan jahiliyah. Namun kelahiran beliau Saw juga memunculkan berbagai macam tradisi di kalangan umat Islam. Salah satunya yang paling populer adalah tradisi memperingati hari kelahiran beliau Saw atau yang dikenal dengan istilah Peringatan Maulid Nabi Saw atau Muludan.

Merujuk pada catatan Ali bin Abdillah bin Ahmad Al-Hasani as-Syafi’i atau dikenal dengan sebutan Nuruddin Ali dalam Wafául Wafá bi Akhbár Dár al-Mushthafá, munculnya tradisi peringatan hari kelahiran Nabi Saw dapat dilacak antara lain pada tahun 786 Masehi, terutama oleh inisiatif seorang ibu bernama Khaizuran. Sosok Khaizuran sendiri merupakan ibu kandung Musa al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid yang konon pada saat ia datang ke Madinah dan Mekkah mengajak para penduduk memperingati hari kelahiran Rasulullah Saw di rumah-rumah mereka.

Ada alasan menarik kenapa Khaizuran, istri Khalifah Al-Mansur itu memiliki inisiatif untuk mengadakan peringatan Maulid Nabi. Hal itu dia lakukan salah satunya sebagai upaya agar umat Islam kala itu tidak lagi mengikuti perayaan Nairuz dan Mahrajan, dua perayaan yang kerap dilakukan oleh masyarakat Persia dari Klan Kuni. Nairuz merupakan perayaan awal tahun Masehi versi kaum Majusi dan Mahrajan merupakan perayaan hari rayanya kafir Majusi yang dilakukan 6 bulan setelah Nairuz.

Dulu, dua perayaan ini dilakukan oleh orang kafir saat Nabi berada di Madinah dan juga kerap dilakukan oleh orang-orang Majusi di Persia. Melihat kenyataan itulah, Ibu Ratu dari Bani Abbasiyah itu kemudian mencoba mengalihkan perhatian umat Islam agar tidak ikut merayakan perayaan tersebut. Salah satunya dengan memerintahkan untuk merayakan kelahiran Nabi, (Habib Husen Ja’far Al-Hadar, Tak di Ka’bah, di Vatikan atau di Tembok Ratapan Tuhan ada di Hatimu, 2020, lihat juga Ismal Fajrie Alatas, A History of the Prophetic Mawlid: From Khaizuran to Habib Luthfi bin Yahya  (indeks), What Is Religious Authority, Cultivating Islamic Communities in Indonesia, 2021: 267).

Sumber lain menyebutkan bahwa lahirnya peringatan kelahiran Nabi Saw dilakukan pertamakali oleh Muzhaffaruddin, salah seorang raja di wilayah Irbil (wilayah Irak) pada awal abad ke-7 Hijrijah. Informasi ini juga dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tarikh-nya, Ibnu Al-Jauzi, Ibnu Khallikan dalam Wafayat al-A’yan dan Ibnu Dihyah dalam Al-Tanwir fi Maulid al-Basyir al-Nadzir.

Peristiwa perayaan peringatan kelahiran Nabi Saw yang diinisiasi Raja Muzhaffaruddin ini kemudian memunculkan fatwa akan bolehnya merayakan peringatan maulid karena dipandang sebagai sesuatu yang baik. Para ulama yang memberikan statemen seperti itu antara lain Ibnu Dihyah al-Hafidz, Al-Iraqi al-Hafidz, Ibnu Hajar al-Asqalani al-Hafidz, As-Suyuthi al-Hafidz, As-Sakhawi al-Hafidz, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam, Syaikh Muhammad Bakhit Muthi’ dan Syaikh Musthafa Naja, (Lihat, Khalil al-Rahman, Al-Rawáih al-Zakiyyah fi Mawlid Khair al-Bariyyah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, 2018 : 32-33)

Bahkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pengarang tafsir Jalalain, secara khusus menulis Husn al-Maqsad fi Amal al-Maulid yang merangkum berbagai pendapat para ulama tentang hukum bolehnya merayakan peringatan kelahiran Nabi Saw lengkap dengan berbagai syarat-syaratnya, (Jalaluddin as-Suyuthi, Husn al-Maqshad fi Amal al-Mawlid, t.th: 15-19). 

Tradisi memperingati kelahiran Nabi Saw tidak hanya dikenal di Indonesia. Kalau di Indonesia sendiri, khususnya di Jawa ada istilah Muludan, maka dalam masyarakat Arab Urdu dikenal istilah Milad an-Nabi, masyarakat Turki mengenalnya dengan sebutan Mevlid Serif atau Mevlud menurut orang-orang Muslim Bosnia dan Mawlud Sharif bagi orang Muslim Afganistan.

Konon, Muslim Persia (sekarang Iran) menyebut peringatan kelahiran Nabi dengan istilah Zadruz-e Payambar-e Akram, Muslim Al-Jazair menyebutnya dengan istilah Mawlid En-Nabaoui Echarif. Orang-orang Afrika Barat mengenal istilah Maulidi dan ada istilah Gamou bagi Muslim Senegal serta ada istilah Barawafat bagi Muslim Pakistan, Bangladesh dan India, (Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, 1995).  

Demikianlah berdasarkan catatan Esposito, bahwa tradisi perayaan memperingati hari kelahiran Rasulullah Saw tidak hanya dikenal di Indonesia, melainkan juga di beberapa negara di dunia.

Dalam memperingati hari kelahiran Rasulullah Saw, kegiatan yang paling sering dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia adalah membaca syair atau qasidah yang berisi doa, pujian dan sanjungan kepada Nabi Saw. Salah satunya yang dibaca adalah Maulid Al-Barzanji.

Kitab Al-Barzanji ditulis oleh Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim. Ia lahir dan wafat di Madinah. Kata Al-Barzanji dinisbatkan kepada daerah Barzanj, Irak, tempat leluhur Sayyid Ja’far dulu berada, yakni, Muhammad al-Barzanj. Sosok Muhammad al-Barzanj sendiri dikenal sebagai seorang ulama terkemuka dan juga seorang mufti. Secara nasab, Sayyid Ja’far sang pengarang kitab Al-Barzanji ini merupakan keturunan Nabi Saw dari jalur Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah Zahrah binti Rasulullah Saw.

Dari sisi keilmuan, Sayyid Ja’far sendiri dijuluki sebagai Al-Muhaddits al-Musnid. Dalam disiplin ilmu hadis, gelar Al-Muhaddits merupakan gelar tertinggi setelah Al-Hafidz. Seseorang yang dijuluki Al-Muhaddits adalah mereka yang dianggap mengetahui sanad-sanad hadis, mengetahui para perawi, celah dan cacatnya hadis, tinggi rendahnya derajat hadis dan memahami hadis-hadis yang terdapat dalam Kutub As-Sittah. Selain itu, Sayyid Ja’far konon juga dikenal sebagai seorang Mufti Syafi’iyyah di Kota Madinah, (Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki, Hawlal Ihtifal Bidzikri al-Mawlid al-Nabawi al-Syarif, 2010 : 99).

Kitab Al-Barzanji ini sangat populer bagi sebagian besar umat Islam di dunia. Bahkan tidak sedikit para ulama yang memberikan syarh atau penjelasan terhadap kitab tersebut. Al-Faqih Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Maliki memberikan penjelasan terhadap kitab Al-Barzanji dengan menulis kitab Al-Qaul al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji. Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi men-syarh kitab Al-Barzanji dengan menulis kitab Madariju al-Shu’ud ila Iktisa i al-Burud. Sayyid Ja’far bin Ismail memberikan syarh lewat kitabnya Al-Kawkabu al-Anwar ala Iqd al-Jawhar fi Mawlid al-Nabiyyi al-Azhar, termasuk juga menulis biografi Sayyid Ja’far sendiri dalam Al-Raudhatu al-Athar fi Manaqib al-Sayyid Ja’far (Abdullah Afif, Maktabah al-Ilm al-Sunniyah al-Salafiyah, 2015 : 5657).

Terkait dengan isi kitab Al-Barzanji sendiri, sudah banyak kalangan akademisi yang meneliti struktur syair atau qashidah yang ada di dalamnya. Secara singkat dapat penulis kemukakan bahwa isi kitab Al-Barzanji ini terdiri dari ringkasan tentang kisah kelahiran Rasulullah Saw dengan berbagai kejadian ajaib yang terjadi saat itu. Kemudian juga berisi momentum diutusnya Muhammad sebagai rasul, sejarah hijrahnya beliau, akhlak beliau, peperangan yang pernah diikuti beliau sampai dengan wafatnya beliau Saw.

Kalimat yang digunakan Sayyid Ja’far dalam Al-Barzanji berbentuk nasr (prosa) yang terdiri dari 19 sub bagian dengan 355 untaian nasr atau prosa. Selain itu, di dalamnya juga terdapat bentuk nadzom yang terdiri dari 16 sub bagian dengan 205 bait syair yang diikat dengan ‘rima’ berupa huruf nun pada setiap akhir kalimat. Untuk dapat memahami dengan sangat baik akan untaian nasr dan nadzam dalam Al-Barzanji ini, seseorang tidak cukup hanya dengan membaca terjemahannya saja melainkan juga diperlukan perangkat keilmuan yang memadai dalam bahasa Arab, termasuk disiplin ilmu nahwu, sharf, balaghah, arudh di samping juga perangkat ilmu tafsir.

Dari uraian singkat di atas dapat penulis kemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang tanggal lahirnya Nabi Muhammad Saw. Meskipun begitu, perbedaan pendapat tersebut hanya menyangkut tanggal kelahiran Nabi Saw, sementara mereka sepakat mengena bulan dan hari lahirnya beliau Saw. Kedua, diperingatinya kelahiran Nabi Saw tidak terlepas dari peran serta para ulama fikih, ulama hadis, para ahli tafsir dan tasawuf dalam rangka menanamkan semangat cinta kepada Rasulullah Saw di tengah-tengah merebaknya propaganda kelompok-kelompok yang berasal dari luar Islam untuk menghilangkan kecintaan orang Islam kepada Nabinya.

Ketiga, ditulisnya kitab-kitab yang berisi pujian dan sanjungan kepada Nabi Saw, sejarah kelahiran, sejarah diutusnya beliau, hijrah, perang sampai dengan wafatnya beliau Saw merupakan khazanah intelektual Muslim yang perlu diapresiasi dengan tepat dan adil. Salah satunya seperti kitab Al-Barzanji yang merupakan ringkasan sejarah Rasulullah Saw yang ditulis dengan cita rasa bahasa dan sastra yang memukau.

Keempat, dalam perjalanannya, kehadiran kitab-kitab Maulid dan termasuk juga peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw mengundang pro dan kontra (ikhtilaf) di kalangan umat Islam sendiri. Munculnya ikhtilaf semacam itu adalah suatu hal yang wajar sekaligus merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Sebab kalau cara pandangnya saja dalam menyikapi tradisi maulid ini berbeda-beda, maka hasil kesimpulannya juga pasti berbeda-beda. Karena itu, bagi yang merayakan maulid perlu kearifan sikap kepada orang yang tidak berkenan merayakan maulid. Sebaliknya mereka yang tidak mau bermaulid juga perlu bersikap arif kepada orang yang bermaulid sehingga pada akhirnya tidak muncul sebuah kebingungan sikap yang tak perlu, “Masa iya kita ribut sesama orang-orang yang sama-sama mengaku cinta, justru pada Nabi kita yang sama. Mbingungi mbokkk." 

 

Selasa, 19 Oktober 2021 

(Tulisan ini pernah dipublikasikan pada tahun 2014 di Kedaulatan Rakyat dan diposting ulang dengan beberapa tambahan dan perbaikan)


*Penulis adalah orang biasa yang terbiasa dengan kebiasaan yang biasa-biasa saja

Kamis, 14 Oktober 2021

MERELAKAN YANG AKAN PERGI

 

Rabu pagi, 13 Oktober kemarin, secara tidak sengaja saya mendengar perkataan Bapak Muhammad Siswanto, Kepala MAN 4 Kebumen kepada salah seorang guru yang lolos seleksi P3K.

“Selamat ya. Satu sisi saya senang, tapi di sisi yang lain juga sedih karena njenengan (kamu) harus pergi dari sini,” kira-kira seperti itu ungkapan Pak Siswanto.

Lalu pada Kamis keesokan harinya, di ruang guru, kasak-kusuk soal siapa saja guru yang lolos P3K kembali menyeruak. Ternyata, ada beberapa guru lain yang juga akan segera ‘hengkang’ dari MAN 4 Kebumen untuk bertugas di tempat baru mereka karena sama-sama lolos P3K.

Mengetahui hal itu, entah kenapa saya pribadi kok diam-diam juga terbawa perasaan. Semacam ada campuran rasa sedih dan senang sebagaimana dirasakan oleh Pak Kepala. Apakah ini semacam perasaan sentimentil sesaat saja atau hanya sekadar pengaruh suasana karena terlanjur mendengar ungkapan Pak Kepala sebelumnya? Tak tahulah awak.

Hanya saja, peristiwa ‘hengkangnya’ seseorang dari sisi kita akan selalu menyisakan sebuah kekosongan, baik hengkangnya itu untuk selama-lamanya atau hengkang hanya untuk sesaat dan masih ada peluang untuk bersua. Disadari atau tidak, pada saat kita harus berpencar arah dengan orang-orang yang sebelumnya berjalan seiring, kita akan merasa bahwa ada sesuatu yang kurang lengkap dalam perjalanan kita. Seperti kata Pak Haji; kalau sudah ‘tiada’, baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga.

Secara personal, kepindahan beberapa orang guru dari MAN 4 Kebumen barangkali akan menjadi sebuah peristiwa yang -khususnya bagi saya pribadi- bikin melting perasaan. Bagaimana tidak, MAN 4 Kebumen adalah pengalaman pertama saya menjalani profesi guru dalam arti yang formal. Saat awal-awal menginjakkan kaki di sini, saya merasa sangat diterima dengan penuh kehangatan oleh semua guru, khususnya mereka yang akan segera pindah itu. Merekalah yang ikut melengkapi puzle-puzle dari hari-hari saya sampai kemudian sempurna membingkai sebuah cerita.

Tapi apa mau dikata: “Hidup ini bagaikan sungai. Dan aliran sungai itu tidak akan pernah benar-benar sama meskipun dalam pandanganmu nampak tetap tak berubah,” demikian konon kata Plato. Itu artinya dalam konteks ini, kebersamaan bukanlah sesuatu yang selalu harus tetap tak berubah. Akan tiba masanya bahwa dalam kebersamaan akan selalu tercipta sebuah celah, akan ada jarak yang merentang, di mana antara kita dan dia tidak lagi berada dalam satu tempat dan waktu, di mana antara kita dan dia -meminjam bahasanya Letto- barangkali nanti hanya mampu 'bertemu di ruang rindu’.

Hikss

"Tissu basah tisu basah dua ribuan..."

Kamis, 14 Oktober 2021

 

 

 

TERBARU DARI GURU

CATATAN GURU KEMARIN DULU